PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI AGAMA
Oleh : Lisda Fatimah Ratih Yusvia
(2017.01.01.901)
Dalam konsepnya, pendekatan fenomenologi ini muncul karena berupaya
untuk menjauhi pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris (sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain), dan normatif. Pendekatan ini berupaya mendriskipsikan
pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin, dan juga berupaya menggambarkan,
memahami, serta berlaku adil kepada pengalaman keberagamaan orang lain.
Fenomenologi agama bisa diartikan sebagai studi agama yang
membandingkan berbagai fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh
prinsip universal. Fenomenologi agama,
muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan merupakan pendekatan modern
terhadap agama. Dalam hal ini, ada empat pengertian yang diberikan untuk
mendefinisikan fenomenologi agama. Pertama, fenomenologi agama diartikan
tidak lebih dari sebuah investigasi terhadap fenomena, fakta-fakta dan
peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati. Kedua, fenomenologi agama
diartikan sebagai studi komparatif agama yang berbeda. Ketiga, fenomenologi
agama diartikan sebagai metode khusus dalam kajian agama. Dan yang keempat
kelompok Max Scheler dan Paul Ricoer yang menganggap fenomenologi agamanya dipengaruhi
oleh fenomonologi filsafat.
Dari sisi metodologi, Fenomenologi agama adalah suatu metode
pendekatan dalam studi agama dengan tanpa memperhatikan sejarah suatu agama,
tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana agama itu menampakkan diri.
Eksistensi fenomenologi dalam studi agama ini, memperoleh tantangan
dari sebagian para ilmuwan, karena menjadikan agama sebagai obyek studi ilmiah
(scientifc study) apalagi pendekatan yang digunakan adalah filsafat. Dalam
pembahasan ini, ada beberapa kritikan terhadap fenomenologi agama, diantaranya
:
1.)
Fenomenologi
agama mengklaim pendekatannya deskriptif murni yang resistan terhadap campur
tangan peneliti. Bagaimana mungkin seorang fenomenolog tidak memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu dalam mengontrol data dan metode yang
digunakan. Maka kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan
deskriptif murni.
2.)
Fenomenologi
agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam isolasi sejarah.
Seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi fakta-fakta
fenomena bagi praktisi agama. Padahal dalam prakteknya fenomenologi agama
seringkali tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena keagamaan yang
dikaji.
3.)
Peneliti
kesulitan dalam menentukan sisi yang benar dan dapat diterima, terlebih ketika
menggunakan data-data yang bersifat intuitif untuk diverifikasi dalam wilayah
objektif. Term “objektif” dan “intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif.
4.) Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual keagamaan.
Dalam
pembahasan ini akan diterangkan tentang Aplikasi Fenomenologi dalam Studi Agama,
menjelaskan fenomena kurban menurut dari berbagai agama dan kepercayaan.
1)
Upacara
Kurban Secara Umum
Siapa yang tidak kenal dengan salah satu ibadah kurban pada Idul
Adha di dalam Islam, disetiap tahunnya umat Muslim dunia merayakannya, pun tak
hanya bagi Muslim ibadah satu ini telah menjadi satu ibadah yang universal yang
dimana beberapa agama mengenal dan merayakannya, tentunya dengan niat dan cara
yang berbeda.
Paradigma
manusia religius terhadap kehidupan di alam semesta dalam kesatuan sosial
maupun sebagai individu tidaklah dapat berlangsung kalau tidak dipelihara dan
dirangsang dengan ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan kekuatan-kekuatan
kosmis atau ilahi. Mereka menyucikan situasi-situasi kritis dan marginal dalam
hidup individu dan kolektif. Ya, salah satu dari ritus itu adalah upacara
kurban yang mempunyai tempat dalam peribadatan, karena dengannya manusia
religius mengadakan persembahan diri kepada dewa atau Tuhan lewat suatu
pemberian.
Upacara
kurban dapat digambarkan sebagai persembahan ritual berupa makanan atau minuman
atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural. Upacara kurban merupakan
ilustrasi yang bagus untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal karena mencakup
pertukaran barang dan jasa pada taraf religius. Upacara kurban secara ritual
adalah benar-benar suatu bentuk pertukaran antara manusia dan makhluk
adikodrati.[32] Upacara kurban sebagai suatu komunikasi nonverbal antara
manusia dan makhluk adikodrati, meliputi persembahan dan persekutuan.
2)
Upacara
Kurban dalam Kristen
Istilah
kurban juga sangat populer dan menjadi landasan dogma teologi ini. Secara makro
maksud dan tujuannya adalah sama seperti agama Yahudi, yakni sebagai penebus
dosa, hanya saja bila dalam syari’at Yahudi yang melakukan pengorbanan adalah
pihak manusia yakni dengan memotong hewan ternak maka dalam agama Kristen yang
melakukan pengorbanan adalah dari pihak Tuhan itu sendiri, dengan mengutus
Anak-Nya yang Tunggal sebagai pihak yang dikurbankan sama seperti anak domba
yang dijadikan kurban penebusan dosa: “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah
ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu
bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan
dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba
yang tak bernoda dan tak bercacat.”(I Pet 1:18-19).
Walau
cara kematian Yesus Kristus merupakan salah satu kematian yang tragis dan
menyedihkan, tetapi makna dan pengaruh kematianNya tidaklah sama dengan
kematian semua umat manusia dari abad ke abad. Peristiwa kematian Kristus
sangatlah unik, mengandung misteri yang tidak terpecahkan, dan membawa pengaruh
serta transformasi yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia sepanjang abad.
Makna kematian Kristus tidak sama dengan kematian para tokoh sejarah, para
nabi, rasul-rasul atau orang-orang ternama di dunia manapun. Sebab kematian
Kristus di atas kayu salib dua ribu tahun yang lalu telah membawa suatu
perubahan yang radikal terhadap makna, nilai-nilai, filosofi, teologi, agama
dan arah perjalanan sejarah umat manusia. Surat Ibrani berkata: “Jadi,
saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke
dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi
kita melalui tabir, yaitu diriNya sendiri” (Ibr. 10:19).
Pengertian
“oleh darah Yesus” menurut iman Kristen begitu sangat penting dan menentukan
hakikat keselamatan umat manusia. Sebab tanpa melalui “darah Yesus” yaitu
kematian Kristus di atas kayu salib, semua selaku umat kristus tidak mungkin
dapat masuk ke dalam tempat kudus yaitu takhta Allah. Tanpa melalui “pencurahan
darah Yesus”, semua akan tetap hidup di bawah kuasa dosa dan murka Allah.
Tepatnya tanpa melalui kematian Kristus, semua umat manusia tidak dapat
memperoleh keselamatan dan hidup kekal di hadapan Allah. Dengan demikian alasan
teologis dari surat Ibrani sangatlah
jelas, yaitu melalui kematian dan kurban darahNya, Kristus telah ditentukan
oleh Allah untuk membuka jalan yang baru dan yang hidup.
3)
Upacara
Kurban dalam Islam
Wacana
kurban dalam Islam, al-Qur’an menyatakan:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا
دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ
لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu tak sekali-kali mencapai (keridhoan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah
telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap
hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang
berbuat baik.” (Q.S. Al-Haj ayat 37).
Kurban
dalam Islam bukanlah untuk penebusan dosa terlebih lagi untuk membujuk Tuhan
supaya mengakhiri permusuhan dengan manusia seperti pada beberapa agama
lainnya, kurban disini bukan hanya perbuatan mengalirkan darah binatang dan
membagi-bagikan dagingnya kepada kaum fakir miskin, akan tetapi berkaitan
dengan melekatnya perbuatan taqwa, berserah diri kepada Allah, rendah hati dan
sabar dalam menghadapi kesukaran; dan lain sebagainya yang mendekat kepadaNya.
Hikmah
lainnya yang terkandung dalam ajaran Islam adalah terjadinya hubungan dengan
Allah SWT yang semakin dekat, memudahkan dan memantapkan rasa solidaritas
sosial, mendidik manusia yang melaksanakan qurban menjadi orang yang pandai
bersyukur atas segala kenikmatan, membuktikan bahwa kita termasuk orang-orang
yang taat dalam menjalankan perintah Allah SWT[39], binatang yang dikurbankan
melambangkan sifat kebinatangan dalam dirinya, sehingga dengan menyembelih
binatang kurban mengingatkan kepada manusia untuk menyembelih sifat
kebinatangan dalam dirinya.
Dipilihnya
suatu hari untuk menyembelih hewan kurban, ini dimaksud agar seluruh hati kaum
Muslimin sedunia berdenyut dalam waktu yang sama untuk melaksanakan satu
cita-cita. Dengan demikian, ibadah kurban pada hari Idul Adha memimpin manusia
untuk mengembangkan cita-cita berkurban guna kepentingan umat secara
keseluruhan.